layout

Jumat, 05 Oktober 2012

SEMUA BISA JADI PENGUSAHA

Prinsip dasar u/ semua kemudahan, sama.
Prinsip tauhid, iman, dan keyakinan. Prinsip ibadah dan doa.
***Jadi pengusaha tidak sesulit yang kita kira.
Sungguh ia menjadi mudah buat mereka yang meyakini ini mudah,
dan semakin mudah buat mereka yang yakin Allah itu Maha Memudahkan.
Mereka yang bermodalkan yakin saja, bisa menjadi pengusaha.
Maka seorang mukmin, sejak yakin dan bergeraknya,
belom lagi sampe menjadi pengusaha, ia sudah menjadi ibadah..
Mau jadi pengusaha? Tulis aja sepotong kalimat di selembar kertas. Kalo bisa dengan tulisan tangan yang menulis dengan hati yang sungguh-sungguh: Saya mau jadi pengusaha. Lalu bingkai itu tulisan. Letakkan di dinding impian. Dinding yang bisa mudah dilihat oleh Saudara. Lalu jalanilah kehidupan sebagaimana biasa. Api kepengen jadi pengusaha itu, jangan pernah dipadamkan. Keinginan dan impian jadi pengusaha, jangan dihilangkan sementara Saudara menjalani kehidupan ini. Pelihara di dalam hati dan pikiran.
Setiap mau berangkat kerja, tengok itu tulisan. Baca.
Setiap pulang dari kerjaan, tengok. Baca.
Setelah jalan beberapa bulan, beberapa tahun, tengok itu tulisan. Insya Allah dah. Insya Allah tuh tulisan ga berubah, he he he.
(-) Yaaaaaahhh... Kirain beneran...
(+) Iya. Tulisannya ga berubah. Tetep itu bunyinya. Dengan tulisan yang sama pula. Seperti beberapa bulan yang lalu. Tapi Situnya yang berubah. Situ sudah jadi pengusaha beneran. Berangkat dari usaha kecil-kecilan, hingga jadi pengusaha besar.
Dan lihatlah. Di proses yang saya paparkan di awal ini, tanpa menyebut asma Allah. Ya, tanpa menyebut ibadah dan doa. Asal punya keyakinan, dan semangat, lalu punya pikiran bener-bener akan jadi pengusaha, maka bener-bener akan jadi pengusaha.
Kalimat ini digaris tebal oleh mereka-mereka yang beraliran positif, beraliran keyakinan, yang bahkan kadang menuhankan dirinya sendiri dan alam. Kalimat yang kelihatannya tidak bermasalah, namun sesungguhnya bermasalah secara tauhid, dipegang sebagai satu kebenaran:
Saudara hanya perlu percaya, perlu yakin, bahwa Saudara akan mencapai apa yang Saudara inginkan, impikan, lalu alam ini secara ajaib akan mengaturnya.
Ini kan ga bener. Diri sendiri ga bisa ngatur apa-apa. Alam ini juga ga bisa ngatur apa-apa. Yang bisa mengatur itu adalah Allah. Allah yang bisa mengatur segala-galanya. Termasuk Allah lah yang bisa mewujudkan keinginan dan impian seseorang untuk bisa jadi pengusaha. Bukan dirinya sendiri dan alam.
Namun saya tidak mau mencederai dulu keyakinan yang positif ini. Kita beri warna saja dengan warna ilahiyah. Ketuhanan. Keyakinannya tetap kayak begitu, hanya sandarkan pada Allah. Lalu beri bobot ibadah. Beri nilai ibadah. Sehingga sejak dari awal sudah dihitung sebagai ibadah, dan tidak jatuh kepada kemusyrikan.
Hal-hal sederhana, misalkan dengan mengubah kalimatnya menjadi: “Bantu saya ya Allah, supaya saya bisa jadi pengusaha”. Ini udah akan berbeda. Atau dengan nada yang berikut: “Insya Allah saya yakin saya bisa jadi pengusaha”. Aman. Ada insya Allah nya, he he. Segini saja untuk permulaan cukup. Apalagi kemudian tidak hanya mandangin ini tulisan saat pergi dan pulang bekerja. Tapi membawanya ke atas sajadah. Dibawa shalat, dibawa dalam doa. Insya Allah ini yang saya sebut, sejak awalnya perjalanan menjadi pengusaha, perjalanan ini udah jadi ibadah, dan bahkan penuh dengan muatan ibadah. Bayangkan ya, orang yang kerjaannya menyempatkan memandangi tulisan ini saban hari, dengan mereka yang dhuha saban hari. Kekuatannya tentu berbeda.
Mudah-mudahan sampainya kita kepada apa yang kita inginkan, impikan, tidak membawa kita kemudian lalai sama Allah. Semakin bersyukur dan tidak besar kepala.
Sebab itu, di serial “Semua Bisa Jadi Pengusaha” di Wisatahati ANTV, saya pun menyebut modal yang dimiliki oleh semua orang adalah doa. Doa dimiliki mereka yangt kaya, dan doa dimiliki mereka yang miskin. Doa kemudian bisa dimiliki oleh mereka yang berilmu, berpengalaman, juga bisa dimiliki oleh mereka yang tidak berilmu dan tidak berpengalaman. Doa bisa dimiliki oleh mereka yang punya modal, dan doa bisa dimiliki oleh mereka yang tidak bermodal.
Doa jauh melebihi “mantra ajaib” berupa keyakinan pada diri sendiri dan alam, dan pikiran positif, yang juga dimungkinkan dimiliki oleh semua orang. Dengan doa, terbuka pintu semua orang untuk menjadi pengusaha.
Kiranya, kuliah umum ini saja insya Allah sudah cukup untuk membuat semua orang bisa jadi pengusaha, andai bener-bener mau langsung ngetrack berdoa, tanpa putus, tanpa jeda, tanpa henti, tanpa lelah, tanpa buruk sangka sama Allah. 5x sehari shalat fardhu, maka setelahnya 5x pula dalam sehari melakukan afirmasi yang paling positif: Doa. Ditambah selepas dhuha dan tahajjud, dilakukan dalam jangka waktu yang cukup untuk dikatakan sebagai “terus menerus”, misalnya 40 hari, 100 hari, setahun, dua tahun, maka keajaiban itu datangnya bukan keajaiban biasa. Tapi keajaiban dari Allah. Jalan itu datangnya bukan jalan biasa. Tapi jalan dari Allah. Subhaanallaah laa hawla walaa quwwata illaa billaahil „aliyyil „adzhiim. Nanti setelah kekabul, ya terus berdoa. Kan usaha juga omsetnya pengen naik terus, pengen lebih banyak lagi usaha baru, pengen selamat. Jangan lupa berdoa supaya usaha yang dilakukan membawa kepada ridha Allah dan surga-Nya. Seraya minta dibimbing agar bisa membimbing staff-staff dan karyawan karyawati semuanya bisa masuk surga. Asyik. Jalan usaha jadi jalan masuk surga, dan jadi jalan orang lain buat masuk surga dengan wasilah kita. Subhaanallaah.
***
Saudara-saudaraku yang saya cintai karena Allah. Tahun 2012 adalah tahun di mana saya alhamdulillah membuka 2 sekolah baru. Sekolah Bisnis, dan Sekolah Kepemimpinan. Enterprenurship; Bisnis, usaha, dagang. Dan Leadership: Kepemimpinan, baik kepemimpinan di dunia usaha itu sendiri, atau bicara spektrum yang lebih luas lagi, kepemimpinan bangsa, kepemimpinan nasional, dan kepemimpinan global.
Enterpreneurship dan leadership, adalah dua yang harus dipersiapkan sungguh-sungguh. Dilahirkan. Jangan sampe tercipta karena kebetulan belaka, atau bahkan warisan, tanpa peduli kualitas dan akhlaknya.
Seperasaan saya, dilihat dari dokumentasi perjalanan saya, dari 1994, saya menaruh perhatian kepada dunia usaha dan kepemimpinan. Dari mulai yang sekecil-kecilnya, hingga ia kemudian berproses hingga sekarang ini. Semakin tahun, semakin tertarik. Semakin kepengen terlibat dan melibatkan diri. Semakin kepengen menceburkan diri. Bukan egoisitas kepengen menjadi pengusaha, dan pemimpin, insya Allah. Tapi lebih kepada kepengen ikutan menyiapkan moralnya, menyiapkan visi misinya, membantu mewujudkan impian banyak orang yang bercita-cita menjadi pengusaha dan pemimpin, dalam keadaan Allah ridha kepadanya.
Secara meyakinkan saya berdoa di hadapan Allah, di depan Ka‟bah-Nya, hampir di tiap kali perjalanan umrah. Agar saya diberi kekuatan mendampingi negeri saya, untuk ikut melahirkan dan mewarnai dunia usaha dan dunia kepemimpinan; baik nasional maupun global (internasional). Tahapan perjalanan setapak demi setapak dimulai.
Harus ada yang punya impian, mencetak pengusaha berkaliber inernasional, dengan reputasi dan network internasional, sementara ia adalah seorang penghafal al Qur‟an yang santun, meneduhkan, namun disegani.
Harus ada yang punya impian, mencetak pemimpin yang berkaliber dunia, sementara ia adalah seorang penghafal Qur‟an yang memimpin dunia dengan al Qur‟an. Subhaanallaah.
Dan saya kepengen menjadi salah satu yang memiliki impian itu.
Untuk menuju jalan itu, seluruh gagasan, ide, dan menuju implementasi, membuat sekolah bisnis dan sekolah kepemimpinan, adalah sebuah keniscayaan. Sekarang saja, dengan bendera Daarul Qur‟an, yang menyasar ke program pendidikan formal SD, SMP, SMA, saya dan kawan-kawan berhasrat sangat memberi kontribusi kepada dunia pendidikan tinggi, output SMA yang berkualitas dengan akhlak yang mulia, dan al Qur‟an di hati, dada, dan pikirannya. Keinginan untuk menyumbang kepada dunia usaha, anak-anak yang kelak menjadi pengusaha dan pemimpin yang tidak doyan sama korupsi, ga doyan sama harta haram, ga doyan
Rangkaian perkuliahan ini, rangkaian tulisan di tangan Saudara, adalah tulisan yang punya cita-cita tinggi itu, dengan tidak melupakan pembahasan yang membumi dan bisa dijalankan. Insya Allah, dengan izin-Nya.
***
Saya ulangi di dalam Kuliah Umum ini, bahwa semua prinsip untuk kemudahan dunia, sama. Termasuk sukses menjadi pengusaha, dan sukses menjadi pengusaha yang sukses. Yakni prinsip tauhid, iman, dan keyakinan. Prinsip ibadah dan doa. Percaya sama Kekuatan Allah, dan menyiapkan diri sebaik-baiknya dengan terus menerus berada di dekat Allah, dalam ibadah, doa, dan ikhtiar yang juga terus menerus bersama-Nya.
Jika mereka yang tidak punya Allah, bahkan tidak bertuhan, diberi kesempatan menjadi pengusaha, dan pemimpin, maka saya sungguh kepengen semakin percaya, apalagi jika kita bertuhan Allah, dan memakai betul Allah sebagai kekuatan yang memimpin dan menggerakkan.
Apalagi menjadi pengusaha dan pemimpin tidak sesulit yang Saudara kira. Hanya ada yang mengerti, ada yang tidak mengerti. Ada juga yang secara tidak sengaja meniti jalan ini, lalu jadi, ada yang secara sengaja meniti jalan ini, lalu bertambah-tambah jadinya. Ada yang siap, dan menyiapkan dirinya, ada juga yang tidak siap lalu akhirnya mau ga mau menjadi siap. Ada yang dipilih, ada pula yang secara natural kemudian mengemuka. Dan saya mencoba dengan izin Allah menyingkapnya seserpih dua serpih, sedikit dua dikit, hingga ia menjadi sebuah tuntutan step by step yang bisa diikuti.
Muhammad al Faatih, seroang penakluk Konstantinopel, adalah seorang yang memang siap secara dirinya, dan disiapkan oleh ayahnya, Sultan Mehmed II. Hingga pada umur 19 tahun ia diangkat begitu belia menjadi Sultan, dan umur 23 menaklukkan Konstatinopel.
„Umar bin „Abdul „Aziz, putra „Abdul „Aziz, dipersiapkan betul juga oleh ayahnya, untuk menjadi pempimpin masa datang. Baik Muhammad al Faatih, maupun „Umar bin „Abdul „Aziz, tidak dipersiapkan dengan ambisius. Tapi dipersiapkan dengan semangat ilahiyah. Pernah pada suatu hari, „Abdul „Aziz, ayah dari „Umar yang kelak menjadi salah satu khalifah besar pada masanya, mencukur kepala „Umar sampe botak, sebab ketinggalan shalat.
Hal serupa dilakukan Sultan Mehmed II kepada Muhammad al Faatih, anaknya, dengan sentuhan yang serupa tapi tak sama. Muhammad al Faatih dididik dengan pendidikan al Qur‟an, as Sunnah, agama, bahasa, dan militer, hingga kemudian ia siap lebih cepat dari masa seharusnya seorang pemimpin.
Bagaimana juga seorang „Umar bin Khattab menyiapkan seorang gubernur mesir yang peduli dan sayang juga kepada keluarganya. Dikisahkan salah satu kandidat gubernur menghadap „Umar bin Khattab dengan membawa anaknya. Lalu Khalifah „Umar mencium anak itu dengan kasih sayang. Ayah anak ini, kandidat gubernur, berkata, “Saya tidak pernah mencium anak saya sebagaimana engkau mencium wahai Khalifah...”. Mendengar perkataan kandidat gubernur ini, dikisahkan oleh sejarah, bahwa „Umar menunda pengangkatan itu, dan sebagian yang lain mengatakan, dibatalkan. Apa kata Khalifah „Umar, “Bagaimana mungkin seorang yang akan memimpin satu negeri lalu tidak berlaku lembut kepada anaknya?”
Aroma penyiapan itu makin terlihat manakala Rasul membimbing langsung para sahabatnya, mulai dari sahabat Khulafa-ur Rasyidiin, hingga sahabat tabi‟ien, dan beberapa generasi setelahnya. Membimbing bukan hanya barisan petempur. Tapi barisan pemimpin dan juga pengusaha. Sekeliling Rasul kemudian menjadi orang-orang hebat yang melekat Qur‟an dan warisan akhklak kenabian, dan juga menjadi pemimpin, penguasa, dan pegusaha dan pedagang hebat pada masanya.
Sekurang-kurangnya sejarah mencatat ada Abdurrahman bin Auf, sahabat Rasul yang menginspiratif dunia usaha. Saat beliau ikut hijrah bersama Rasul, Abdurrahman bin Auf pamit ke pasar. Dan kemudian beliau menguasai pasar Madinah sebagai permulaan setelah hijrahnya. Abdurrahman bin Auf menjadi penguasa dan pengusaha besar pada zamannya.
Ga tanggung-tanggung, sahabat-sahabat senior, yang disebut Khulafaur-Rasyidiin, yakni Abu Bakar, „Umar bin Khattabb, „Ustman bin „Affan, dan sahabat yang dikenal bersahaja, „Ali bin Abi Thalib, pun semuanya penguasa yang adil, pemberani, disegani dan ditakuti, dan sekaligus sebagai pengusaha, yang menambah deret kemuliaan dan kehormatan diri baik di mata manusia apalagi di mata Allah.
Properti Khaibar milik „Umar bin Khattab, bukan maen besarnya, 70 ribu properti dikisahkan dimiliki „Umar yang semuanya dipakai untuk menunjang dakwah dan perjuangannya. Kisah heroik „Ustman sebagai pedagang pun menginspirasi seorang Yusuf Mansur ber-Quantum di urusan keuntungan usaha dan bisnisnya. Manakala dagangan „Ustman distop oleh kafilah arab, hendak dibayari 2x lipat, „Ustman ga mau. Dibayari 10x lipat oleh kafilah berikutnya, hingga 20x lipat oleh kafilah berikutnya, „Ustman tetap menolak. “Ada yang membeli 700x lipat.” „Ustman disebut gila. Siapa yang bisa beli sampe 700x lipat. Ga ada. Kalaupun ada, berapa mau dijual? Dan siapa yang bisa beli? „Ustman menjawab, ada. DIA la Allah. Allah yang membeli dagangannya „Ustman, hingga 700x lipat atau bahkan lebih. Sebagai janji bagi sesiapa yang mau bersedekah di Jalan Allah.
Subhaanallaah...
Cetak biru sejarah, dan tintas emas sejarah ini terlalu dini saya kupas di Mukaddimah ini. Biarlah ia menjadi sesuatu yang ringan, sesuai dengan apa yang ingin dikupas di rangkaian-rangkaian tulisan ini. Insya Allah tidak akan berkernyit mengikuti pembelajaran demi pembelajaran, namun dengan semangat yang mudah-mudahan “tidak sekedar” menjadi
pengusaha dan pemimpin yang ecek-ecek. Insya Allah. Dengan kesungguhan kita semua, maka kalimat Kun Fayakuun akan berlaku juga untuk kita. Sebuah kalimat yang menandakan juga adanya proses dan keterlibatan kita semua dalam “Keputusan Takdir” Allah.
***
Sebelum Kuliah Umum “Semua Bisa Menjadi Pengusaha” menjadi berat, saya coba endapkan dengan bicara “visi misi”. Kenapa Yusuf Mansur, yang seorang ustadz, dan belom diketahui reputasinya sebagai pengusaha, he he he, lalu membuat Sekolah Bisnis? Membuat kuliah tentang “Semua Bisa Menjadi Pengusaha”? Dan mendorong orang untuk berusaha? Berdagang? Di antaranya, supaya Saudara yang kepengen masuk ke gelanggang ini punya niatan dan visi misi yang relatif sama. Bukan karena egoisitas kepengen kaya dan berkuasa. Dan supaya Saudara meniti jalan mudah yang dibentangkan Allah, yang pilihannya juga begitu banyak dan variatif. Yakni lewat jalan ibadah dan doa. Disebut banyak dan variatif, sebab ibadah itu betul-betul banyak.
Ya, sebelum Kuliah Umum ini berkembang menjadi berat, saya pun kepengen mencairkan suasana, dengan kembali mengatakan kepada Saudara-Saudara semua, “Asli. Menjadi pengusaha itu tidak sesulit yang Saudara kira. Miliki keinginan, miliki impian, mendekat ke Allah, dan teruuuuuuuus aja bergerak. Hingga Allah Membimbing, hingga Allah Memberikan Karunia.” Ada yang malah ga punya keinginan, ga punya impian. Atau katakanlah, tidak menjadi afirmasi, tidak menjadi sesuatu yang dikatakan. Tapi ia mendekat ke Allah, dan terus juga bergerak. Akhirnya ia ada di dalam impian yang diimpikan oleh orang banyak, namun mereka yang satu ini tidak mendekat ke Allah dan tidak bergerak.
Dunia Allah terlalu luas bila menjadi pengusaha haruslah terlebih dahulu sekolah tinggi, babak belur ditipu habis-habisan, ancur-ancuran, atau harus punya sederat pengalaman, punya modal, punya mitra bisnis. Ada Jalan Lain. Mudah. Asal mau. Asal yakin.
Menjadi “penguasa” juga demikian. Tidak sesulit yang Saudara kira. Saya punya kawan, atas izin Allah mendawamkan dengan sengaja ayat ke-26 ke-27 Surah Aali „Imroon. Di tengah pastinya ada yang bakalan berdebat, koq ayat ini dipake buat zikir buat wirid, apalagi ada tendensi tertentu, kawan saya ini mengalir. Posisinya sebagai guru honorer di satu madrasah, membuatnya terdorong, termotivasi, bergairah, membaca sebanyak-banyaknya dan serajin-rajinnya ayat 26-27
Surah Aali „Imraan ini. Di Indonesia, “sebanyak-banyaknya” dan “serajin-rajinnya” ini yang bahasa gampangnya: didawamin bacanya, dijadikan pakaian harian, dijadikan wirid andelan. Di mana tidak akan ditinggal dua ayat ini setelah baca juga zikir-zikir atau wirid-wirid lainnya.
Peristiwa yang mengantarkannya menjadi seorang gubernur daerah, sungguh ia tidak mengira. 2-3 tahun sebelum pelantikan, saat itu, ia mendengar CD saya atas izin Allah. Lalu kawan ini kepengen berubah. “Tidaklah salah kepengen berubah, asal keinginan itu disampaikan ke Allah Yang Maha Mengubah, dan berproses menjadi berubah dengan cara-cara Allah.” Di CD itu, ia menangkap secara gampangnya ayat yang ia yakini secara teks juga demikian artinya. Allah yang bisa mengubah. Ayat ini dibacanya, dan menjadi teman setiap habis shalat. Hingga masa itu datang.
Seorang gubernur “incumbent” memintanya untuk mewakili beliau maju di Pilkada di daerahnya.
“Aih... Mimpi apa aku ini...? Diajak nyalonin jadi wakil gubernur...?”
Bermodalkan kurang dari 400rb rupiah, ia kemudian menjadi salah satu gubernur dengan biaya termurah. Maklum, sudah lazim di Indonesia, mahal sekali biaya pencalonan itu. Baik untuk membeli kendaraan politiknya, sampe ke biaya pra kampanye dan kampanye. Bahkan untuk proses pendampingan saksi saja, harus ekstra biaya yang tidak sedikit.
Koq gubernur? Bukannya jadi wakil?
Ya, awalnya wakil. Gubernur incumbent terpilih lagi, dengan beliau sebagai wakilnya. Tapi musibah datang, ujian datang, untuk gubernur yang didampinginya. Gubernur asli tersebut terkena dugaan kasus, sehingga harus mundur dari jabatannya. Naiklah kemudian wakil ini menggantikan. Sungguh kejadian ini tidak diduga sama sekali. Ia yang buta bagaimana memimpin daerah, tiba-tiba mau tidak mau harus memimpin penuh. Subhaanallaah.
Di rumah kediaman gubernur, beliau berkisah, “Akkkuuu, biasa baca doa di sini Ustadz,” kata kawan saya ini bertutur dengan logat kedaerahannya. “Ga nyangggka, kalau eh, aaakkku sekarang yang tinggal di sini...”
Saudara yang kemudian membaca tulisan ini, diam-diam menaruh keinginan menjadi gubernur juga, he he he. Lalu mendawamkan ayat ini juga. Ayat 26-27 Surah ke-3. Kenapa saya bilang diam-diam? Ya, malu-malu. Diam-diam, malu-malu, takut ada yang mengatakan, wuah, kepengen jadi gubernur ya? Mendawamkan ayat tersebut. Sementara yang lain mengatakan, wuah, jadi
murahan ini ayat, jika dimaksudkan untuk wasilah jadi gubernur. Ada lagi kemudian yang mengatakan, jangan kepengen jadi gubernur, neraka!
Weh weh weeeeeeeehhh... Saking aja ini Mukaddimah. Kalau engga, udah dibahas deh, he he he.
Jangan memusuhi keinginan. Jangan memusuhi impian. Bersahabatlah dengan keinginan, bersahabatlah dengan impian. Keinginan saja, impian saja, tanpa ada Allah, tanpa ada amal saleh, tanpa ada ibadah, tanpa ada doa, mereka yang beraliran keyakinan meyakini bisa tercapai. Apalagi yang menyandarkan kepada Allah, mau menuruti Alah, mengikuti seruan Allah, meyakini Allah, dan kemudian sungguh-sungguh berdoa dan bergerak ke arah keinginan dan impiannya itu. Tentu mereka inilah yang lebih berpeluang.
Jika punya keinginan, jika punya impian, lalu mendorong Saudara beramal saleh yang hebat, semakin lagi berwarna suasana hati, dan apalagi terpelihara semangat di hati, sebab punya impian, maka itu menjadikan Saudara lebih hidup.
Ada anak yang sekolah dengan datar. Ia tidak punya cita-cita kepengen masuk UI. Apalagi keluar negeri. Akan berbeda dengan anak yang sedari awal membidik UI sebagai cita-citanya.
Seorang yang kepengen menjadi tentara, dengan yang “kebetulan” mengalir menjadi tentara, akan berbeda juga barangkali hidupnya. Perjalanan ke depan memang milik Allah. Namun sebagai seorang manusia, saya lebih senang mengatakan, bersahabatlah dengan keinginan, bersahabatlah dengan impian. Jangan biarkan ia menjauh. Asalkan Saudara ajak keinginan itu dan impian itu kepada Yang Merajai Keinginan dan Yang Merajai Impian.
Terngiang dialog di atas kereta Sinkansen, kereta super cepatnya Jepang, yang membawa saya dan Ugi, Ketua IPTIJ (Ketuanya para pekerja training Jepang), dari Osaka-Tokyo-Osaka. Saya berbicara dengan Ugi atas izin Allah seputar impian. “Ugi, kalo udah punya hasrat, punya keinginan, punya impian, bikin cantolannya. Usahakan ada aktualisasinya. Ada visualisasinya. Sebagian kawan menolak. Saya mah setuju banget. asal jangan pernah jauh dari Allah. Seorang ayah yang pengen anaknya masuk UI, ajak anaknya maen-maen ke UI. UI itu Universitas Indonesia. Ajak sesekali shalat Jum’at di sana. Sepedaan di sana. Hingga anak bisa punya impian ke sana. Kalo udah begini, udah deket nih. Sambungannya udah ada. Apalagi kalau mau mendoakan anak, dan membawa anak ke Allah. Lalu anak jadi pandai berdoa ke Allah supaya gede nanti kuliah di UI. Beliin kaos berlogo UI dan bertuliskan UI. Belikan topi berlogo UI,
bertuliskan UI. Beli stikernya. Tempel di rumah. Teruslah berdoa. Hingga kemudian rektor UI 30-40 tahun ke depan adalah anaknya!”
Begitu saya bertutur kepada Ugi.
Dalam kesempatan memberikan motivasi bisnis, motivasi usaha, motivasi menjadi pebisnis, pengusaha, pedagang, kepada para pekerja di Jepang, saya mengatakan, “Bercanda-canda aja dulu dengan keinginan dan impian. Tapi bedakan dengan yang lain. Jangan cuma kepengen, jangan cuma ngimpi. Harus ada tahapan berikutnya. Jadikan keinginan itu, impian itu, ibadah. Sejak awalnya diinginkan, diimpikan, sudah jadi ibadah. Dan jadikan besar itu keinginan dan impian, dengan memperbesarnya bersama Alah.”
Di Osaka, seribuan pekerja yang mulia, berkumpul. Saya berdialog dengan mereka. Salah satu saya panggil ke depan, apa yang Saudara inginkan? Usaha apa yang Suadara bayangkan? Salah satu dari mereka maju dan menjawab, “Saya kepengen punya cucian mobil...”
Saya lalu memotongnya sopan, “Nah... Bagus nih kalo udah punya impian, kepengen, kayak begini. Sekalian aja bawa ke Allah. Supaya jadi ibadah. Dan kalau udah dibawa ke Allah, jangan tanggung-tanggung mintanya. Minta sama Allah supaya bisa punya 100 tempat cucian mobil yang modern.”
Saya bercanda-canda dengan para kansusei Jepang in, apa kemudian “sambungan” keinginan itu? Apa aktualisasinya?a visualiasisanya? Maen-maen ke tempat cucian mobil. “Saya ga paham cucian mobil di Jepang kayak apa. Tapi kalau di Indonesia saya kebayang...”, begitu kata saya. “Maen dah ke sana. Maen ke satu cucian mobil dan ke cucian mobil lainnya. Usahakan nyambi di sana. Sambil berdoa dari jantungnya keinginan itu, jantungnya impian itu, seperti soalan UI tadi. Sambil nyambi di sana, sambil berdoa. Coba miliki bekas tempat sabun atau shampo mobilnya. He he he, cuci, keringin, jadiin monumen keinginan dan impian. Lalu saat dhuha, saat shalat malam, saat habis shalat fardhu, berdoalah sebagiai kebaikan tambahan doa minta surga dan perlindungan dari neraka, yakni doa supaya bisa punya 100 cucian mobil.”
Inget cucian mobil, saya jadi teringat kawan saya. Dia ini demen banget ngoleksi mobil hummer. Maenan mobil hummer dibelai-belain dibeli. Dan ditaro di tempat yang mudah dilihatnya saat tidur dan bangun. Belasan tahun kemudian, ia yang seorang tukang cuci mobil, kadang merangkap sebagai penambal ban, menjemput saya dengan Hummer asli! Kisahnya sudah ditulis oleh @Anwar_SaniMoza dan masuk ke dalam salah satu bukunya beliau yang berjudul: Donat.
Saya tanya lagi yang lain. adalah Adhit, sekjen IPTIJ. Beliau kepengen punya bisnis properti. “Mau bikin apartemen,” katanya sambil setengah tersenyum meringis. He he he, ada ya tersenyum tapi meringis. Ya, barangkali ia memandang dirinya ga pantas bermimpi punya apartemen.
Saya besarkan hatinya. Bisa koq. Mulai aja “memproduksi” keinginan, memproduksi impian.
Dialog, dialog, eh dia menyebut ada orang di kampungnya yang mau jual tanahnya. “1 milyar,” kata Adhit. Ay ayyyy... Adhit udah berani nyebuit 1 milyar. “Tanahnya 1 hektar. Di Jagakarsa, Jaksel.”
Saya tertawa kecil, tapi bukan menertawakan. “Bukan 1 hektar kali Dhit.... Di Jakarta udah susah tanah murah dan besar. Apalagi di Jagakarsa. Walaupun bisa-bisa aja...” Adhit tersenyum. “Eh eh eh, iya. 1000 meter kali ya... Ga mungkin ya? Iya kali. 1000 meter. Tapi ada. Saya inget. Tetangga saya persis koq. Hanya beda berapa rumah.”
Lihat. Adhit udah memulai perjalanan keinginan, perjalanan impian. Sesaat setelah ia memproduksi impian, keinginan, ia mengingat peluang. Sungguhpun duit ga ada. Seukuran 1 Milyar, namun saya membesarkan hatinya, bahwa pemilik tanah itu adalah Allah. Bawa keinginan itu ke Allah, bawa impian itu ke Allah. Lalu saya menggoretkan tulisan di kertas yang beliau bawa, untuk mengingatkan beliau untuk segera merapat ke Allah, sebagai satu-satunya investor.
Dit, tanah 1000 itu mau Adhit apakan? Tanya saya. Saya sengaja ga make, “Kalau tanah itu bisa dimiliki Adhit...?” Saya ga pake kalau. Langsung aja pake past-tense, seakan-akan tanah itu bener-bener udah kebeli.
“Mau saya bangun perumahan...”
Saya sungguh tidak akan menertawakan hingga saya sok jago. Saya ambil BB saya, lalu saya perlihatkan foto apartemen yang saya sedang bangun saat tulisan ini dirilis. “Dit, ini apartemen yang tingginya lebih dari 10 lantai. 4 blok. Ini di tanah 5000 meter. Jadi kalau 100 meter bisa dibuat apa?”
Adhit jawab, “Iya ya. Bisa dibuat kos-kosan...”
Lihat, Adhit bahkan belom bergeser tempat. Ia belom bergerak. Belom dhuha, merapat ke Allah. Belom shalat malam. Belom berdoa. Belom googling nyari info-info. Belom nambah ilmu dengan beli buku. Belom ikut seminar-seminar dan pelatihan properti. Belom. Baru berpikir, dan masih di
tempat! Lompatan udah kelihatan: Ingat ada yang jual tanah, kepikiran bangun perumahan, mengoreksi menjadi kos-kosan bertingkat... Apalagi bila kemudian ia bergerak. Subhaanallaah...
Arif, seorang kawannya yang lain, di meja makan Pak Iben, Pak Konjen RI di Jepang bilang, “Saya mau usaha sawit. Saya mau ngumpulin gambar sawit,” katanya mantab. Pajangan di rumahnya mau diganti. Kebun sawit. “Saya mau ngafal Qur’an ah. Biar impian saya diurus Allah...”
Jleb...!!!
Manteb... Manteb....
Sampe bagian Arif ini mengingatkan saya, kalau ini baru Kuliah Umum...!!! Jangan panjang-panjang, he he he.
***

Hal-hal yang begini yang akan dibahas di sini. Ga susah. Semua insya Allah bisa.
Sekedar menjelang tutup mukaddimah ini, saya ingin mengatakan kepada Saudara-Saudara semua, sungguh jalan bagi Allah itu luaaaaaaas dan buanyak. Jangan yang ada cantolannya kayak gubernur di atas tadi. Di mana sebelom dicalonkan jadi wakil, ia sudah sering ke rumah dinas gubernur, walo sebatas pemberi kultum dan tausiyah. Atau kayak eks supir saya, dengan jelas ia mengatakan ga bisa lama-lama jadi supir saya. Kepengen kaya, kepengen jadi pengusaha, he he. Insya Allah yang ga ada angin pun, di awalnya, ga ada cantolannya pun, di awalnya, insya Allah, insya Allah, insya Allah, segala jalan milik Allah. Allah akan bukakan untuk Saudara semua. Insya Allah.
Kalau cerita melulu, ga beres-beres nih Mukaddimah. Ntar malah jadi buku saku terpisah, ha ha ha. Kayak Mukaddimahnya Kuliah Tauhid atau Mukaddimahnya Quantum Giving yang sudah duluan jadi buku tersendiri. Insya Allah saya batasin dah.
Saya segera tutup dengan beberapa lagi informasi. He he, maaf ya. Belom nutup-nutup juga.
Berbarengan dengan itu, atas izin Allah saya dan kawan-kawan dengan dibantu oleh jutaan orang di negeri saya, Indonesia, mengumandangkan INDONESIA MENGHAFAL. Sebuah gerakan yang membangun ddasar dan mewarnai pembangunan Indonesia masa depan.
Gerakan ini meski tidak menyengaja memfokuskan ke anak-anak Indonesia, melainkan ke semua strata umur masyarakat, namun sasaran utama gerakan ini adalah anak-anak bangsa. Orang-orang tua Indonesia menjadi motor bagi anak-anak Indonesia agar anak-anaknya tumbuh bersama al Qur‟an. Mau jadi apa kek anak bangsa di kemudian harinya, anak udah dibekali duluan dengan al Qur‟an. Gerakan ini kemudian menjadi srategis apabila kemudian disadari bahwa Indonesia masa depan bukan hanya diinginkan sebagai negara yang maju dan memimpin dunia
saja, tapi negara yang semakin bermartabat, berakhlak mulia, berkarakter Indonesia yang ramah, santun, dengan al Qur‟an sebagai jendralnya.
Kehidupan ini, termasuk kehidupan pengusaha dan penguasa, semuanya tidak bisa dipisahkan dari yang namanya agama. Tidak bisa dipisahkan dari yang namanya al Qur‟an dan as Sunnah. Kalau misah dan terpisah, wuah, rusaklah negeri ini, rusaklah dunia ini, dan rusak juga keluarga dan dirinya.
Karena itu, sebagaimana saya menyeru di Mukaddimah ini: “Jangan memusuhi keinginan, jangan memusuhi impian. Bersahabatlah dengan keinginan dan impian, bawalah ke Allah dan teruslah bergerak,” maka saya pun ingin berkata: “Jangan memusuhi dunia usaha, jangan memusuhi kekuasan. Masuklah. Ikutlah menjadi pemainnya. Warnai dengan al Qur‟an dan akhlak yang mulia. Berdakwahlah di dunia usaha dan dunia kekuasaan, dengan memberikan contoh riil yang menakjubkan dan nyata. Dan jadilah manusia yang sebanyak-banyak manfaat buat yang lain.”
Saya membayangkan, indah betul, di geladak kapal perang induk Indonesia. Berdiri seorang panglima TNI, memimpin shalat tarawih berjamaah.
Di kapal perang induk itu, berlangsung tiap malam, seperti pasukannya Muhammad al Faatih yang menaklukkan Konstantinopel di abad 14, di mana mereka shalat malam, shalat tarawih, 1 malam 1 juz. Sang panglima TNI yang datang di malam ke-17, melanjutkan dengan juz yang ke-17 tanpa ada kesulitan. Ayat suci berkumandang, di atas geladak kapal perang induk Indonesia. Bukan sekarang. Tapi 20-40 tahun yang akan datang dari 2012 ini. Suara yang datang dari seorang imam yang haafidz, yang hafal Qur‟an, sedang ia adalah seorang pemimpin yang memimpin seluruh angkatan bersenjatanya Republik Indonesia, darat, laut, dan udara. Subhaanallaah...
Lebih amazing lagi, ribuan tentara yang ikut shalat, pun mayoritasnya adalah tentara-tentara penghafal Qur‟an. Masya Allah. Zaman itu akan sampe. Zaman di mana ga akan ada kesulitan merekrut calon-calon tentara yang hafal Qur‟an. Sebab input sekolah tentaranya, sudah output sekolah Qur‟an semua.
Ini memang impian. Tapi biar aja. Mulai aja bermimpi. Apalagi Indonesia udah mulai keilangan mimpinya. Didera korupsi, didera kasus-kasus politik, kerusuhan, dan berbagai macam penderitaan rakyatnya. Media pun ikut bertanggung jawab membangun keprihatinan bangsa, dan pesimisme. Saya memilih fokus aja ke impian, dan motivasi membangun. Bukan saya doang yang bermimpi. Tapi semua yang membaca ini, yang mengikuti perkuliahan ini, insya Allah semuanya
ikut serta bermimpi. Dan kemudian sama-sama bergerak mewujudkan impian ini, bersama Allah juga.
Saya membayangkan¸ada satu gedung baru dibuka. Milik sebuah perusahaan holding company. Yang dibarengi dengan syukuran diakuisisinya perusahaan berbendera asing yang diambil kembali oleh anak negeri, yakni si pemilik gedung.
Hari seremoni pembukaan itu hari senen siang. Tidak ada dominasi makan siang, ataupun jamuan minuman dan kue-kue. Sebab presdir dengan jajarannya, dan ribuan karyawan yang khidmat mengikuti seremoni pembukaannya, sedang berpuasa sunnah. Puasa sunnah hari senen.
“Kita mencapai kejayaan ini, sebab di antaranya fadhilah puasa sunnah yang kita lakukan bertahun-tahun dengan izin Allah. Bertahun-tahun kita bersama membangun usaha ini dengan buka puasa bersama. Ribuan istri karyawan, ribuan suami karyawati, semuanya datang ke kantor-kantor cabang kita semua, dan termasuk di kantor pusat. Untuk berbuka bersama, mendoakan usaha kita ini. Lalu sampailah kita hingga hari ini. Maka hari kemenangan ini, tidak kita tandai dengan makan-makan di siang hari, tapi justru kita merayakannya dengan mengingat sejarah. Yakni sambil berpuasa...”, begitu cuplikan sambutan sang presdir. Mantab!
“Buat yang tidak berpuasa, ga usah khawatir. Qur‟an dan Rasulullaah mengajarkan kami memuliakan tamu. Kami tetap akan menemani. Seakan-akan kami tidak berpuasa...”
Seakan Presdir ini sombong mengatakan ini, tapi kalimatnya bukan kalimat yang sombong, riya, tapi kalimat penuh makna dan memotivasi. Ia merayakan seremoni pembukaan gedung barunya, selametan perusahaan yang baru dibelinya, bersama karyawan-karyawatinya dengan tetap berpuasa. Subhaanallaah.

By : Kakanda Rozi ganteng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar